17 Nov 2011

Dialog Cangkir Teh

.

....


Hari-hari hujan itu telah lewat dua minggu. Mengapa masih terasa hampa?

Rasanya hanya celana jeans belel dan sepasang sepatu usang ini yang tahu. Dan lensa sebagai mata keduaku. Memandang ke bawah, menangkap ujung sepatuku, seolah-olah mengingatkan, 'Hei. Sekarang kau menjejak disini tanpa pernah tahu mengapa.' Sistem lensa itu mengejek, tepatnya. Mereka mengejek absurditas buruk rupa yang senantiasa mereka rekam - sepertinya dengan terpaksa.

Aku memaksa mereka melihat sepatuku seakan-akan itu karya seni spektakuler dan memang aku selalu percaya begitu. Meski kenyataannya tidak. Van Gogh saja melukis sepatu usang. Tapi itu dia bukan aku.

Kau tahu, terkadang aku tak tahu ingin apa. Maaf, ralat. Aku selalu tak tahu ingin apa.

Ini cita-citaku: keliling dunia (well, hampir semua orang ingin ini), makan dari seni dan tidur berbuah mimpi yang nantinya akan menjadi seni, lalu menjadi terkenal. Aku tak tahu apa yang kumaksud saat aku mengetik ini. Aku tidak puas tanpa tantangan. Di lain sisi, aku menggerutu kalau perasaanku tidak tenang. Entah maunya apa.

Hidupku rasanya seperti mempertaruhkan koin seratus Rupiah dalam perjudian. Kalau kalah, tak terasa. Kalau menang, tak terasa pula. Apa yang bisa dilakukan koin seratus Rupiah? Permen saja tidak dapat (dulu bisa, mungkin). Bisa saja kau pungut di pinggir jalan, setelah dilindas angkot dan Metro Mini. Bisa saja kau tukar selembar uang sepuluh ribuan dan kau akan mendapat segenggam penuh tanpa merasa kehilangan satu keping yang raib karena kalah dalam judi.

Tidak ada yang diperjuangkan saat tiada atau dipertahankan saat ada. Memprihatinkan sekali.

Entahlah. Pohon kekusutan ini punya satu akar pokok: ketiadaan.

Sungguh, aku sudah tidak bisa merasakan apa-apa kepada apapun dan siapapun. Mungkin, ya, mungkin, ketiadaan bertranslasi menjadi ketidaktahuan lalu bertranskripsi menjadi ambiguitas dan menghasilkan asam amino yang kusebut itu random, random, random, rndm, rndm, rndm.

Random itu alibi. Aku tahu. Random kuciptakan sebagai kedok agar ketiadaan ini menjadi ada. Agar muncul kembali yang kau sebut kupu-kupu di dalam perut, debaran dan denyutan, serta bulu kuduk yang meremang di tenguk. Semua hal, yang kulihat, kusebut saja pertanda, untuk menambah seru cerita. Semua yang kujumpai seiring arus waktuku berjalan maju kukaitkan dengan apa yang akan terjadi di masa depan. Semua kuarahkan untuk mengindikasikan bahwa diriku spesial, tokoh utama sebuah cerita. Kau tahu apa julukan untuk semua di sisi lain benakku? Bullshit.

Namun sisi benakku yang satunya tetap suka digombali. Jadi dia percaya. Jadi aku separuh percaya. Aku tak suka setengah-setengah, lebih baik kosong atau penuh. Maka dari itu aku butuh pembuktian agar yang kuanut ini menjadi sah: nol atau satu, kosong atau penuh.

Maka katakan, ujung pelangiku, bahwa kau lebih berharga dari tubuh, nyawa, dan hidupku digabung menjadi satu. Dengan begitu aku akan memperjuangkan saat tiada, dan mempertahankan saat ada. Dengan begitu ketiadaan akan tumbang dan rndm menjelma menjadi tujuan dan seratus rupiah akan berharga sembilan nyawaku dan bila memenangkannya, aku akan sungguh hidup.

....


Sebabnya jelas, cangkir tehku. Aku tak puas hanya ada. Aku ingin hidup.



Selamat hari Kamis.


.

No comments:

Post a Comment